Selasa, 30 Agustus 2011

Organization Vs Parents


Hal yang sangat biasa jika dikatakan organisasi Vs Akademik. Semua itu hal yang paling sering dialami oleh orang-orang yang masih menempuh masa pendidikan. Belajar teori, duduk di kelas, mematuhi guru ataupun dosen, tak berpikirkah kita hal itu adalah hal yang paling membosankan???? Hah???. Statement itu mengantarkan kita bahwa dalam diri individu masih sangat dibutuhkan yang namanya pengembangan diri, apalagi wadah itu tak lain dan tak bukan adalah organisasi atau kegiatan-kegiatan di luar bangku pendidikan yang di bilang formal itu.

Tak dapat dipungkiri bahwa kegiatan-kegiatan itu menyita lumayan banyak waktu dan juga energi. Tapi, begitulah kehidupan, kita hidup dengan waktu. Lebih baik jika semua waktu itu diisi. Sangat banyak argumen yang mengatakan bahwa organisasi hanya mengganggu aktivitas akademik saja karena jika individu aktif dalam organisasi, maka nilai prestasinya akan menurun bahkan biasanya akademik akan terbengkalai. Lanjut masalah waktu, jika individu menggunakan keseluruhan waktunya untuk seluruh kegiatan baik akademik maupun organisasi kemungkinannya adalah kesehatan akan terganggu. Kurangnya waktu untuk istirahat membuat kondisi fisik yang menurun dan rentan terhadap penyakit. Dan di sisi lain dari kesibukan tersebut, belum tentu kita mendapatkan hasil yang memuaskan. Belum tentu kita mendapatkan pekerjaan yang layak setelah menuntaskan kursi pendidikan, dan belum tentu juga dengan berdinamika di organisasi kita memiliki sosial yang baik.

Yang membuat kita jatuh di jurang sangat dalam adalah karena mind setting kita sendiri. Sangat tak pantas jika menyalahkan pihak sekolah jika kita bodoh, mungkin jika itu masalah fasilitas bisa dijadikan penyebab, ada hal lain yang harus dimunculkan dari dalam diri dalam menanggapi akademik. Sekarang Organisasi, sangat tidak berperikeorganisasian jika kita mengatakan bahwa prestasi akademik hancur dikarenakan organisasi. Yang membuat akademik hancur adalah diri kita sendiri yang belum mampu berjuang untuk meraih prestasi, kalaupun banyaknya kesibukan di organisasi bukan merupakan alasan yang indah, karena yang memutuskan adalah diri sendiri. Segala tindakan dan perlakuan untuk apa yang akan dilakukan merupakan keputusan yang diambil oleh kita sendiri. Jika kita memutuskan untuk lebih asyik di organisasi berarti organisasi tidak salah jika akademik menurun. Hal ini harus dipahami sebaik mungkin. Jika begitu, kita harus mendahulukan akademik dibandingkan organisasi? Jawabannya kembali pada keputusan kita sendiri.

Ada apa dengan orang tua? Sebenarnya yang selalu memicu kita untuk tetap pada jalur akademik yang baik adalah orang tua. Apapun yang mengganggu perjalanan pendidikan anaknya, pasti orang tua akan turun tangan, termasuk dengan organisasi. Hal tersebutlah yang biasa memunculkan konflik. Jika seorang anak yang aktif dalam organisasi, biasanya dihalang-halangi oleh orang tua. Tentu saja dengan beberapa faktor negatif dari organisasi yang telah saya sebutkan sebelumnya. Sebenarnya itu merupakan hal wajar karena beberapa pertimbangan. Orang tua juga pasti khawatir jika pendidikan ataupun kesehatan anaknya terganggu. Tapi, kadang ada juga orang tua yang tak membiarkan anaknya menyentuh organisasi sedikitpun, sungguh memprihatinkan juga. Padahal organisasi merupakan salah satu ruang dinamika sosial, ada interaksi, pemahaman karakter, dan pembelajaran diri secara berkala. Hanya mungkin tidak dibuktikan secara formal administrasi seperti ijasah pada akademik. Kalau pun ada hal itu hanya merupakan sertifikat atau sesuatu yang hanya dilihat secara abstrak. Sedangkan, penerapannya langsung dalam kehidupan nyata, dapat diterapkan juga dalam dunia “mencari uang” atau pekerjaan.

Semua itu adalah ungkapan-ungkapan dari seorang pelajar yang merasa bahwa akademik harus setara dengan adanya non-akademik. Stimulasi! Adalah kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana non-akademik mengembangkan jiwa dalam diri individu. Namun, sangat disayangkan jika hal itu terhalangi oleh hal-hal yang disebut dengan “LARANGAN” sangat mengesalkan bukan? Dan ini sering terjadi : saat asik-asiknya dengan dunia organisasi tapi terhalangi oleh “titah” orang tua dengan berbagai alasan. Semua ini tentu terbantahkan, bisa dikatakan bahwa orang tua bagaikan hidup dalam tempurung katak (pribahasa: katak dalam tempurung). Saat ini dunia semakin membutuhkan banyak waktu untuk menggerakan roda-roda kehidupan manusia. Tentunya ada sebuah pergerakan baru yang juga harus dilirik oleh para orang tua dan ini juga dapat digunakan sebagai metode pengawasan terhadap orang tua yang tidak mempercayai anak-anaknya untuk dilepas di dunia belantara.

Walaupun banyak hal-hal yang mungkin masih bisa dipertimbangkan oleh orang tua menanggapi persoalan organisasi. Namun, masih nihil orang tua yang mampu memahami kemampuan dan kemauan anak. Tadinya ingin “menjaga” berubah menjadi “memenjarakan”. Sangat disayangkan sekali! Organization VS Parents (T_T) hiks!

Jumat, 26 Agustus 2011

A GOOD MAN IS HARD TO FIND - PLOT ANALYSIS



by.arini junaeny

A. SUMMARY OF THE STORY

There is one family, consist of grandmother, father, mother, and two grandchildren. Her son (father) named Bailey. The Grandmother would rather go to Tennessee for vacation than Florida. The family resolves to go to Florida regardless. She spites them by rising early and waiting in the car, dressed in her Sunday best, so that if she should die in an accident she will be recognized as "a lady."

The grandmother talks incessantly during the trip, recalling her youth in the Old South and commenting on various things she sees. When the family stops at a diner, called "The Tower," for lunch, she engages the owner, Red Sammy, in conversation about an escaped murderer known as "The Misfit." The grandmother agrees with Sammy's assertion that a good man is increasingly hard to find.
Back on the road, the grandmother, trying to detour the family away from Florida, begins telling stories about a nearby home that she had visited as a child. Upon hearing that it has secret passages, the children become fixated on visiting the house, and they pester their father until he agrees to follow the grandmother's directions. When her directions lead them down an abandoned dirt road, she realizes that the house is, in fact, in Tennessee and not Georgia. Flustered, she upsets her cat, which panics, causing Bailey to lose control and end up in a ditch. The children view the accident as an adventure; the grandmother feigns an internal injury in order to gain sympathy.

The family waits for help. A car pulls up and pair of men get out, led by a shirtless, bespectacled man with a gun. The man in glasses instructs his cohorts to inspect the family's car and engages Bailey in polite conversation until the grandmother identifies him as the Misfit. As the Misfit instructs his accomplices to murder the family one by one, the grandmother begins pleading for her own life. When the Misfit ignores her pleas, she becomes speechless. Panicked, she attempts to witness about Jesus. The Misfit becomes visibly angry: he is angry with Christ for having given no physical evidence for His existence, casting doubt about the legitimacy of Christianity. He does not want to waste his life serving a figure that may not exist, nor does he want to displease an almighty God who may exist; he has settled on the idea that "There's no pleasure but meanness." The grandmother then reaches out to the Misfit, prompting him to recoil and shoot her.
After the misfit kill the grandmother, he clean his glasses, and said “it’s no real pleasure in life” to Bobby Lee.

B. ANALISYS OF PLOT

1. Exposition

The exposition or introduction at the early of the story. It is open with the grandmother who is rather going to Tennessee for vacation than Florida. In the early story, it mentioned some Characters, such as Bailey Boy is grandmother’s son, Bailey’s Wife, and two grandchild, John Wesley and June Star.
One day before they go to Tennessee, The grandmother read the newspaper and she called her son to read criminal news that is about the misfit. At the next day, the grandmother was the first one in the car.

2. Conflict

The conflict of the story was when the cat jump onto the Bailey’s Shoulder. Bailey lost his control and then they were in an accident. No body is killed in that accident, but maybe their organ is injured. For a moment, a car come to them. The grandmother wave her hands. Three man with guns come to them. They are in robbing. They are the misfit, Bobby Lee, and the other who unnamed. At that situation Bailey, his children, and his wife was separated with the grandmother. There were a conversation between the grandmother and the misfit. The grandmother try to give advisory to the misfit.

3. Climax

The climax of the story was when the grandmother try hard to tell the misfit about having to done. The grandmother told that he had to pray, pray, and pray. The misfit has a different opinion of life, he hate what the grandmother had told. The grandmother said “why you’re not my babies. You’re one of my children!”. The misfit sprang back as if a snake had bitten and shot the grandmother three times the chest. And the grandmother was die.

4. Resolution

The misfit clean his glasses after shoot the granmother. She said to Bobby Lee “Take her off and thow her where you thown the others”. He think the grandmother is the good women if it had been somebody there to shoot her every minutes of her life.

5. Conclusion

In my opinion, the conclusion of the story was when the misfit said “it’s no real pleasure in life” it mean that actually the misfit had a good thing in his self. Because, according to he conversation with granmother, he actually agree what grandmother said, but to the kill that lady was his decision.

The plot of the story is Forward Plot because the story tells us the sistimatical story step by step and that story always tells at further situation (situasi yang berkelanjutan)

Kamis, 25 Agustus 2011

DIAM

MAKASSAR, 19 AGUSTUS 2010
1:30 AM

Kata-kataku terlalu banyak terlontar lewat mulut ini
Perlawanan hati terlalu tampak selama ini
Raut wajah selalu memancarkan gambaran hati
Walaupun ku malu dengan itu tapi....
Semuanya terlalu mudah untuk kulakukan untuk berkali-kali
Kadang aku bertanya kepada hatiku dan diriku sendiri
Apakah aku mengerti dan sadar akan kemauan hatiku ini?
Ataukah sisi lain dari diriku yang menimbulkan semua keegoisan ini
Apakah warna dari hatiku ini? Hitamkah? Atau putih?
Terkadang ku ingin DIAM walaupun hanya sekali
Tapi, bahkan untuk DIAM sekali saja sulit sekali
Amarahku kadang telah kubelenggu sekuat mungkin
Tapi, saat kesabaran tiba mendarat di jiwa
Tiba-tiba aliran darah dari otakku membawa kembali kunci kecurigaan yang membuat belenggu amarahku terbuka dan keluar seenakperutnya
Aku membencinya yang telah membuatku tanpa sadar membuka belenggu amarahku sendiri.
DIAM-ku tak mendatangkan hasil yang kuinginkan
Lalu, DIAM yang bagaimana? Yang harus ku lakukan....
DIAM-ku tak pernah dihargai sedikitpun
Hanya DIAM-ku yang harus mengerti dirinya
Bagaimana dengan hatiku yang terbelenggu oleh diriku sendiri
Sampai kapan DIAM-ku menahanku? Karena percuma
DIAM-ku tak bisa membuat hatiku DIAM untuk menahan
Lalu apa? Hanya DIAM kah cara terbaik?
Aku benci DIAM jika hanya mulutku yang DIAM
Aku juga ingin hatiku DIAM
Agar aku tak perlu khawatir dengan DIAM-mu dan juga DIAM-ku
Tak bisakah DIAM-ku membuatmu mengerti?
Ataukah DIAM-mu yang tak bisa membuatku mengerti
Haruskah selamanya aku DIAM dan penasaran dengan DIAM-mu?
Ataukah aku harus menghilangkan DIAM-ku dan terus menggerogoti DIAM-mu? Dan membuat kita meracuni satu sama lain?
Apakah harus DIAM-ku sama dengan DIAM-mu?
Mengapa tidak kau jelaskan DIAM-mu kepadaku?
Dan kau juga pasti akan mengerti DIAM-ku!
Tapi, sepertinya DIAM-mu terlalu gengsi dan egois!
Jadi lebih baik aku DIAM saja!



Analisis Ideologis : Aspek Psikologis yang Dialami Tokoh Lasi dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari (tugas kuliah)

Dalam novel Bekisar Merah, tokoh Lasi merupakan perempuan lugu yang hidup di sebuah desa kecil Karangsoga. Sejak kecil ia mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari kebanyakn penduduk Karangsoga bahkan teman-teman kecilnya. Penampilan Lasi yang berbeda dengan kebanyakan anak perempuan lainnya membuat dirinya tersudutkan. Wajah yang mirip orang cina juga membuat caci makian karena ia adalah anak dari tentara jepang. Dalam hal ini, Lasi adalah seorang anak yang tabah dan tidak putus asa terhadap cacian itu. Bahkan ia rela meninggalkan pergaulan masa anak-anaknya karena adanya kesenjangan sosial. Cacian dan tekanan yang dihadapi Lasi membuatnya menjauh dari orang-orang di Karangsoga. Rumor yang beredar bahwa diriya adalah anak haram membuat hatinya terluka karena hal itu sebenarnya tidak benar. Kenyataannya lainnya adalah bahwa penduduk Karangsoga sebenarnya mengetahui bahwa Lasi adalah anak sah dari Mbok Wiryaji dan seorang tentara Jepang. Akan tetapi, karena Lasi adalah kembang desa dan membuat orang-orang iri sehingga dera caci tetap saja di hadapi oleh Lasi. Hal itu membuat Lasi tumbuh menjadi anak yang polos, penurut, dan pendiam.
"Las, mereka tahu apa dan siapa kamu sebenarnya. Tetapi aku tak tahu mengapa mereka lebih suka cerita palsu, barangkali untuk menyakiti aku dan kamu. Sudahlah, Las, biarkan mereka. Kita sebaiknya nrima saja. Kata orang,
nrima ngalah luhur wekasane, orang yang mengalah akan dihormati pada
akhirnya.
"

Tokoh Lasi merefleksikan dilema kejiwaan yang dihadapi oleh sesorang yang mendapatkan tekanan-tekanan sosial dari orang-orang sekitarnya. Sejak kecil hidup dengan status “kembang desa” dan “anak haram” sangat mempengaruhi karakter yang ditunjukkan tokoh ini. Karena cacian “anak haram”, ia bahkan selalu menghindari orang-orang dan menghindari berinteraksi dengan orang-orang di desanya. Gambaran kembang desa yang disandangnya membuat para lelaki melamarnya, untung saja ia memiliki keluarga yang baik, sehingga Lasi tidak harus menikah dengan orang berumur dan sudah punya banyak istri.

Lasi tidak melanjutkan sekolahnya karena tuntutan biaya dan juga kondisi psikologi Lasi yang pasti tetap mendapatkan tekanan dari orang-orang. Lasi membantu ibu dan ayah tirinya di rumah. Dengan hanya melakukan aktivitas di rumah, Lasi kemudian jatuh hati kepada keponakan ayah tirinya. Hal ini dikarenakan Darsa adalah pemuda yang pendiam, tidak banyak bicara. Jika ditinjau dari sifat Lasi yang menutup diri dari masyarakat Karangsoga, ini berarti bahwa Darsa adalah orang yang mampu mengerti dia dan tidak akan banyak bicara mengenai dirinya, entah itu cacian ataupun hal yang lainnya. Dan juga mengingat bahwa Lasi cenderung berinteraksi sosial dengan orang-orang sekitar rumahnya. Hal itu telah dipengaruhi oleh aspek psikologis kejiwaan yang didapatkan Lasi.

Aspek psikologis yang paling menonjol dari tokoh Lasi ialah kisah-kisah dilema yang terus-menerus dihadapi oleh tokoh utama ini. Lasi selalu dihadapkan oleh masalah dan musibah yang membuat dirinya harus memutuskan pilihan yang sangat sulit. Hal itu dipersulit lagi oleh psikologis Lasi yang terus-menerus mendapatkan hal-hal sulit yang bahkan membuat dirinya hanya bisa pasrah menghadapinya. Sosok Lasi yang lugu, cantik, dan baik mengantarkannya ke dalam situasi yang sebenarnya ia tidak inginkan.
Setelah dimadu oleh suaminya, Darsa, yang terjebak oleh seorang dukun yang mengobatinya, Lasi tak memiliki pilhan lain selain melarikan diri. Kondisi ini membuat dilema lagi di hati Lasi. Dengan melarikan diri, Lasi akan meninggalkan segala rasa sakit baik dari Darsa maupun dari tanggapan situasional orang-orang Karangsoga. Di samping itu, Lasi tetap merindukan Karangsoga, asal usulnya dan juga ibu yang terus mengkhawatirkannya. Namun, Lasi tetap saja mengikuti kepasrahan hatinya untuk tetap tinggal di Jakarta.

"Kini ia mulai sadar akan apa yang sedang dilakukannya; lari meninggalkan Karangsoga, bumi yang melahirkan dan ditinggalinya selama dua puluh empat tahun usianya. Lari dari rumah; rumah lahir, rumah batin tempat dirinya hadir, punya peran dan punya makna. Lari meninggalkan tungku dan kawah pengolah nira dan wangi tengguli mendidih. Dan semuanya berarti lari dari yang nyata menuju ketidakpastian, menuju dunia baru yang harus diraba-raba, dunia yang belum dikenal atau mengenalnya"

Dalam novel Bekisar Merah, seperti judulnya, Lasi digambarkan layaknya Bekisar Merah, seekor ayam hasil persilangan antara ayam hutan dan ayam kampung dan menghasilkan ayam yang langka dan mempesona. Itulah Lasi, hasil dari wanita desa dan seorang tentara jepang sehingga Lasi tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan sangat berbeda dari kebanyakan anak gadis di Karangsoga. Seluruh kelebihan itu membawanya kedalam perubahan sosial dalam hidupnya.
Setelah dijual kepada seorang pria kaya berumur enam puluh lima tahun, keadaan strata sosialnya mendadak berubah. Ia telah benar-benar berubah menjadi seekor bekisar merah dan menjadi pajangan di rumah mewah. Lasi, mendapatkan segala yang dia inginkan dan hal itu membuat dia mempelajari seluruh strata sosial yang tinggi. Kepasrahan dirinya muncul dari psikologis Lasi setelah mendapatkan pengalaman-pengalaman dari perlakuan orang-orang terhadap dirinya. Hal tersebut membuat dia tetap pada tataran seekor bekisar merah yang penurut, pasrah, dan diselimuti kekacauan jiwa yang mengharuskannya mengikuti jalan yang sudah ditetapkan sekalipun itu sangat bertentangn dengan kemauannya.

Pada akhirnya, tampilan Lasi sebagai perempuan penurut, pasrah, dan seekor bekisar merah membawa dirinya kepada kebijaksanaan hati. Perlakuan dari orang-orang Karangsoga terhadap dirinya tidak membawa Lasi dalam lautan dendam. Bahkan, Lasi setelah menikmati kekayaan di kota, ia menengok ke Karangsoga dan membantu orang-orang yang pernah hidup bersamanya.
Perubahan sosial yang dialami tokoh Lasi layaknya benda yang hanyut disungai yang terus mengalir mengikuti aliran air. Namun, ia sudah sampai di duatu hilir yang membuat dirinya sadar akan tekanan jiwa yang dihadapinya. Tekanan dilematis yang dihadapinya mengantarkan dia untuk mengakhiri status wanita pajangan. Ia menjadi wanita terhormat dengan latar belakang yang mungkin dapat dikatakan tidak terhormat.
Dalam novel ini juga menggambarkan betapa peran agama dan budaya sangatlah menentukan alurnya. Setiap kegundahan dan kesusahan yang dihadapi tokohnya selalu mengibaratkan takdir tuhan dan kuasa tuhan. Dan hal-hal itu juga ditunjukkan oleh adat Karangsoga melalui bahasanya dan beberapa ritual yang dijalankan penderes nira. Walaupun Lasi adalah keturunan Jepang, tetapi selama hidupnya ia mencerminkan warga desa dengan kepatuhan terhadap tuhan dan adat-adat yang dijalankannya. Budaya-budaya hormat dan lainnya juga menjadi aspek dalam mempengaruhi psikologis tokoh ini.






Senin, 28 Maret 2011

Puisi "Peringatan" oleh Wiji Tukul dalam Rezim Orde Baru



oleh: Arini Junaeny

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembunyi dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: LAWAN!

Sekilas puisi yang mengandung makna perjuangan, perlawanan, dan tuntutan sebuah kebenaran karya Wiji Tukul.

Orde baru yang menggulingkan segala bentuk kebohongan siklus kehidupan di Indonesia membuat banyak pihak mulai gerah, termasuk Wiji Tukul yang melentangkan tangan dan berjuang bersama sastra. Keadaan Indonesia pada saat itu yang sangat kacau balau dan telah menghadirkan ketimpangan-ketimpangan menjadikan karya-karyanya tak hanya sekedar ekspresi diri melainkan untuk bangkit bersama rakyat dan meruntuhkan bercak noda penguasa. Tergambar dalam salah satu puisinya yang berjudul “Peringatan” bahwa rakyat tidak akan tinggal diam terhadap kehancuran yang telah dirasakan selama orde baru. Pada baris terakhir puisi tersebut merupakan kalimat yang paling dikenal bahkan lebih terkenal dari wiji tukul sendiri. Dalam setiap demonstrasi mahasiswa, rakyat,dll, kalimat “Maka hanya ada satu kata: LAWAN!” selalu menjadi nyanyian wajib dan ungkapan tajam.
Sangat tergambarkan alur permasalahan yang ada pada puisi tersebut. Dalam puisi ini wiji tukul menjelaskan bahwa banyak hal yang terjadi pada pihak pemerintahan yang benar-benar merupakan sebuah ruang gelap bagi negeri. Saat rakyat tak lagi bisa mendengar pemimpin, saat rakyat tak bisa mempercayai pemimpin, ketika mulut rakyat selalu dibungkam, ketika suara rakyat tak didengar, dan ketika kebenaran tidak bisa diperoleh dimanapun. Kemelut itu akan membawa Indonesia dalam keterpecahbelahan, cerai-berai, dan tak memilki tujuan bernegara lagi. Maka dalam puisi tersebut membukakan jalan bahwa siapapun itu harus tetap berjuang melawan segala sampah yang menodai bangsa.
Wiji tukul dengan berani dan penuh dengan semangat tak tanggung-tanggung mengajak rakyat atau siapapun itu untuk menentang para penguasa. Perjuangannya memperoleh HAM, yang tentu saja tergambar dalam karyanya membawa hasil yang luar biasa. Berangkat dari lahirnya puisi perjuangan, para kaum pekerja seni dan sastra juga bergerak melawan pemerintahan orde baru yang dinilai menghancurkan nasib rakyat. Munculnya banyak demonstrasi, terutama penuntutan hak buruh yang juga melibatkan wiji tukul sendiri, telah membuktikan pergerakan rakyat terutama rakyat tertindas.
Melalui karya-karyanya tersebut, melalui sastra wiji tukul mendapatkan beberapa penghargaan, dan penghargaan terhebat dan terakhir yang ia dapatkan adalah Yap Thiam Hien Award 2002 dalam hal perjuangan HAM. Namun, hadiah tersebut tak sempat ia nikmati karena Wiji Tukul tiba-tiba menghilang tanpa kabar atau mungkin dihilangkan oleh penikmat rezim orde baru. Semuanya masih tanda tanya sampai saat ini. Kehilangan wiji tukul bukan berarti menghentikan perjuangan HAM di Indonesia, bahkan melalui karya-karyanya yang sangat geming, memicu perjuangan tersebut hingga rezim orde baru runtuh.
Wiji juga bukan seorang sosok opinion leader, yang biasa memengaruhi opini masyarakat. Dalam wawancara dengan majalah Sastra 2 November 1994, ia mengungkapkan posisinya, ''Saya bukan penyair protes. Saya menyadari proses. Menulis puisi persoalannya selalu kembali ke persoalan diri saya. Begitu saya drop out dari sekolah, saat itulah saya sadar tentang arti hidup yang sebenarnya. Ada semacam pembenturan nilai. Yah, setelah keluar sekolah, akhirnya saya harus memilih menjadi tukang pelitur. Saya harus mengatur diri sendiri dan memilih mana yang baik dan tidak. Kalau di sekolah yang baik sudah ditentukan, padahal itu belum tentu baik bagi kita.''
Ketidaknyamanan rakyat pada masa itu telah terpaparkan dalam puisi ini. Dalam setiap baris terdapat pesan mengenai rentetan keluhan realita yang terjadi. Pada masa orde baru tak sedikit orang-orang yang memberontak ditangkap, dibunuh diam-diam, atau bahkan hilang tanpa kabar. Gambaran dalam puisi bahwa tidak adanya lagi Republik Indonesia sebagai suatu kedaulatan rakyat. Perpecahan dan jurang pemisah yang sangat besar antara pemerintah dan rakyat sendiri. Wiji tukul disini bukanlah seorang tokoh besar ataupun pemegang suatu kedudukan yang menggunakan cap itu untuk didengar suaranya, tetapi beliau berteriak atas nama rakyat karena beliau merasakan sendiri, dia bukan bagian dari rakyat tapi dialah rakyat itu. Semua hal tersebut sangat jelas diteriakkan dengan lantang dalam puisi ini.
Dari alur yang terdapat di puisi tersebut telah jelas secara sistimatikal mulai dari keadaan yang mulai memperlihatkan ledakan kecil kemudian permasalahan yang mulai terbuka secara lebar hingga pada akhirnya keresahan harus ditindaki dengan perlawanan rakyat. Implementasi semangat perjuangan dalam puisi menjadi kekuatan sendiri untuk membongkar keberanian rakyat yang telah terwakili dari kata-kata wiji tukul ini.

Selasa, 02 November 2010

Aku Seorang Boneka

Aku adalah seorang boneka
Tubuhku ada kepala, badan, tangan, dan kaki
Tapi, semuanya tidak bisa bergerak, sama sekali tidak
Wajahku selalu tersenyum, mengapa bisa??
Sedangkan aku merasa sedih, sedangkan aku merasa marah
Aku seorang boneka berbaju merah, kuning, jingga
Padahal aku menyukai warna biru
Mengapa aku dipakaikan rok berenda-renda!
Aku ini seorang boneka laki-laki!
Aku terlalu sering dibaringkan, aku ingin duduk dengan kawan
Etalase toko megah membuatku pegal untuk berduduk lama
Makanya, aku ingin berdiri, berjalan, bahkan berlari
Ingin rasanya beradu bersama lawan
Kutengok robot tetangga
Berlapis nikel cat biru, Tidak memakai rok, dan dapat bergerak
Tapi, dikendalikan remote yang digenggam seorang anak
Ternyata sama saja, bahkan lebih buruk nasibnya
Aku seorang boneka laki-laki ber-renda-renda dan berkata:
Dan aku berbangga!
Karena mungkin, dunia ini dipenuhi pecundang-pecundang polesan!


sebuah puisi karya arini junaeny...

Senin, 18 Oktober 2010

Keelokan membahagiakanmu???

Sebuah kertas kado yang cantik.........
Baru, berwana cerah dan wangi....
Menghiasi pemandangan etalase toko hadiah di tepi jalan...
Pengunjung keluar masuk sambil memandangnya kagum

Seorang ayah yang sedang membelikan kado untuk anaknya
Memilih kertas kado itu menjadi pembungkus yang sangat menarik
Dengan spontan kertas kado itu merasa sangat bahagia.........
Kini dia merasa berguna berkat dirinya yang menarik

Semuanya terasa aman saja.......
Sebelum seorang anak yang sedang mencabik-cabik dirinya..
Dengan wajah gembira anak itu memeluk hadiahnya...
Dan...melemparkan tubuh kertas kado itu jauh ke lantai

Seperti bencana alam besar
Kertas kado, perasaannya bagaikan burung tanpa sayap
Menangis karena kejayaan telah tidak dimilikinya lagi
Keindahannya kini tak lebih hanya kertas bekas yang belum tentu bisa didaur ulang

Berada di tempat sampah..
Ditiup angin dan membawanya kesana-kemari
Tak tentu, diinjak dijalan.....terhempas dipohon.....meliuk-liuk di udara
Hanya berpasrah dengan apa yang tak pernah terpikirkan akan terjadi

“untuk apakah diriku diciptakan? Bukankah untuk menyenangkan hati mereka, tapi mengapa aku di cabik-cabik?”
Rintih kertas kado yang telah kehilangan keagungannya.....
Etalase-etalase toko yang bersinar bukan lagi tempat yang pantas baginya

Hanya berdiam diri, pasrah, dan bersedih, tanpa bisa melakukan apapun
Terbaring di lorong kumuh nan sempit, becek dan dingin
Raganya membeku.....jiwanya kuat tapi tak ada apa-apanya....
Kosong....pikirannnya dikosongkan dan dia tak peduli lagi

Tiba-tiba matanya terbuka..........
Melihat sesosok anak kecil dengan pakaian yang sederhana
Tersenyum padanya,,,melipat-lipatnya hingga membentuk miniatur lucu
Tangan lembutnya membuat tubuh kertas kado menjadi rapi
Seakan menyihirnya menjadi sosok indah yang berbeda

Walaupun bukan etalase yang gemerlap,,
Hanya meja kecil di dekat jendela, tapi tempat itu sangat hangat dan terhormat
Berjumpa denga teman miniatur lainnya....
Dan ternyata semua itu membahagiakannya......

Makassar, 23 Juli 2010
BY : ARINI JUNAENY

Selasa, 02 Maret 2010

Aku, Kakek, Hujan, dan Flamboyan Yang Indah

Pada suatu senja di hari minggu yang berangin dan berdebu, aku beranjak dari beranda rumahku meninggalkan lamunanku dan tatapanku terhadap anak-anak kecil yang sedang bermain di depan rumah. Satu hari yang cukup segar bagiku, walaupun suasana tak cukup ramai untuk bersenda gurau. Aku berjalan-jalan berniat menghilangkan kepenatan menuju taman di ujung perumahan rumahku. Senja itu memang sangat berangin. Melewati blok-blok yang sejuk dengan tawa anak kecil. Angin yang berdebu mengibas-ngibaskan rambutku yang terurai panjang yang ujungnya hampir menyentuh pinggangku. Daun-daun gugur menari-menari di sekitarku seakan-akan menemani langkahku menuju ke suatu tempat di taman itu.
Kursi panjang terbuat dari kayu yang kini hampir lapuk, perlahan ku dekati dan kunikmati kenyamanannya. Menghirup udara sore yang beraroma keluguan. Di sana, di sisi lain dari kursi yang kududuki, seorang pria tua duduk dengan kedua tangannya saling mengenggam sambil menatap lurus ke depan, bukan tatapan kosong. Sesekali aku melihat senyum tipis tergambarkan di bibirnya yang keriput. Ingin aku pergi dari tempat itu karena khawatir mengganggu kenyamanannya. Mencoba untuk menghilangkan keberadaanku di dekatnya. Tapi, ketika kumulai beranjak….
“Kenapa terlalu cepat pergi, duduklah dan nikmati keindahannya!”, ucap orang asing itu kepadaku dengan senyuman lebarnya saat aku baru saja setengah berdiri. Tentu saja aku seketika duduk kembali, bukan karena takut tapi aku tidak tahu harus melakukan apa.
“Maaf, maksud anda menikmati keindahan itu apa?, maksud saya keindahan apa yang dinikmati?”, tanyaku, yang sebenarnya kuragu untuk mengucapkan kata-kata.
“Namaku Sulaiman, kau bisa memanggilku kakek eman, atau kakek saja”, kata orang itu masih tetap memandang lurus kedepan.
“Oh, iya. Namaku prammesti, biasanya dipanggil pram, kek” kataku sambil berusaha menangkap matanya agar dia melihatku. Bukankah tidak sopan berbircara tanpa melihat lawan bicara. Sungguh mengecewakan berbicara dengan orang seperti itu. Tapi aku sangat penasaran dengan gerak gerik kakek itu, walaupun mungkin dia hanya terduduk terpaku dan hanya berbicara dengan pandangan lurus tak tau apa maksudnya. Aku mencoba membuka sesi percakapan lagi.
“Sedang menikmati senja yang sejuk ini ya,kek?, tapi sepertinya taman ini belum dibersihkan.”
“Aku ingin dia tetap ada di setiap generasi, sangat indah bukan?”
Kakek ini benar-benar membuatku bingung, muncul tanya di benakku, kakek ini orang waras atau memang punya kelainan.
“Maksud kakek apa?, apa yang indah?”
“Kau bingung ya?, maaf, kau lihat pohon di depan itu, tinggi menjulang, sangat rindang, dan bunganya berguguran sangat indah”, Katanya kali ini dengan menghadapku dan tidak terlihat seperti patung bersuara lagi. Dia juga memperlihatkan ekspresi wajah yang tenang ketika menunjuk pohon flamboyan yang jaraknya sekitar 15 meter dari kursi taman tempat kami duduk.
“Oo, pohon flamboyan itu, iya bunganya memang berjatuhan mengotori taman ini,”kataku spontan
“Hush!..jangan berkata seperti itu, ini adalah pohon terindah di dunia, bagiku pohon ini mengagumkan,” ucapnya dengan spontan juga, yang hampir membuatku terkejut dengan tanggapannya.
“Iya, semua orang punya kesenangan tersendiri, maaf”
“Tidak apa-apa, memang kelihatannya pohon itu mengotori taman ini, tapi coba lihat tanah disekitarnya yang tadinya coklat pekat kini terlihat seperti ditaburi permata-permata merah yang indah, dan coba kau lihat anak kecil yang bermain di bawahnya, pasti dia merasa teduh dan sejuk,”
“Iya, mungkin aku hanya menganggapnya pohon biasa saja”
“Aku mengerti, mungkin kau heran aku terlalu memujinya, tapi pohon itu sangat berkesan di hidupku, dan aku senang bisa bertemu dia disini”
“Artinya kakek tidak tinggal di sekitar sini?”
“Aku tinggal disini di rumah keponakanku, sejak aku mulai lemah, maklum penyakit orang tua, dulu aku tinggal di kampung, tapi tentu saja aku tidak gaptek”
Memang tampaknya kakek itu kelihatan lebih trendy dibandingkan orang tua yang lain. Aku mulai nyaman dengan percakapan ini. Firasatku mengatakan tidak ada ruginya bercakap-cakap dengan orang tua ini.
“Kek, aku sebenarnya penasaran dengan pohon flamboyan, kenapa pohon itu menjadi spesial bagi kakek, jujur aku menganggapnya biasa saja, kalau kakek tidak keberatan menceritakannya padaku”
“Tentu tidak pram, banyak kisah tentangku dan flamboyan”
Dia memperbaiki posisinya di kursi panjang itu, sesekali dia batuk dan sesekali menatapku dan tersenyum yang aku sama sekali tak tahu makna senyumannya. Mungkin wajahku yang terlihat sangat penasaran atau mungkin juga dia ingin sekali menceritakan kisahnya dan flamboyan.
“Ketika aku masih remaja, tepatnya saat SMA, pertemuan yang tak terduga dengan cinta pertamaku”
Sedikit aku tertawa, tapi aku menahannya. Aku tak habis pikir kakek ini romantis juga. Aku yakin pasti kisah cinta yang jadul tapi menarik juga bagiku karena aku tak pernah mendengar kakekku bahkan orangtuaku bercerita seperti ini.
“Seorang gadis manis berdiri di bawah pohon flamboyan di depan rumahku saat hujan deras turun, dia berteduh walaupun basah kuyup, tak ada tempat berteduh selain pohon itu. Aku memandangnya dari jendela rumah. Rambutnya panjang, kurang lebih seperti rambutmu” katanya memulai cerita sambil mengamati rambutku kemudian memandang lurus lagi dan melanjutkan ceritanya.
“Dia menunggu sampai hujan reda, tapi hujan semakin deras, aku spontan keluar rumah membawa dua payung, dan kudekati dia sambil berkata “Ini aku pinjamkan payung, kau bisa mengembalikannya kapanpun setelah kau gunakan”. Dia tidak mengambil payungku melainkan mengatakan “Terima kasih, aku ingin berdiri di dekat flamboyan ini, aku ingin daun dan bunganya berjatuhan di tubuhku, mungkin kau heran, tapi aku sangat menyukainya”
“Hah!” kataku dengan heran
“Iya, kata itu yang kuucapkan juga saat itu, tapi dia memalingkan pandangannya dariku dan melihat ke puncak flamboyan. Dia sangat manis ternyata, bahkan ketika aku kembali ke jendelaku dan memandangnya, wajah manisnya tidak lenyap walau dari jauh. Saat hujan reda dia pergi, bahkan aku masih menatapnya sampai ia hilang di ujung jalan. Entah mengapa gadis itu sangat berkesan bagiku.
“Jangan jangan orang itu sudah jadi istrinya kakek ya?”, ucapku yang sepertinya memotong ceritanya
“Tidak, aku tidak berkeluarga sampai saat ini, mungkin kau bertanya kenapa, itu karena flamboyan, yang menyebabkanku bertemu dengannya”
“Hoo, maaf kalau aku sok tahu”
“Tidak apa, sampai dimana tadi?..huk…huk..huk.
Tanyanya sambil terbatuk-batuk. Aku merasa bersalah telah mengucapkan pertanyaan itu, sepertinya aku telah memotong ceritanya. “Sampai dia pergi dari pohon flamboyan itu,” kataku mengingatkannya
“Oh, Iya. Aku penasaran dengan gadis itu sampai-sampai aku memikirkannya semalaman. Seminggu berikutnya, saat senja hari seperti hari itu, hujan turun sangat deras. Gadis itu kembali berdiri di teduhan pohon flamboyan, aku agak heran sebenarnya. Tapi, aku senang bisa melihatnya lagi. Dia selalu mengenakan baju dengan motif kembang, mungkin dia suka dengan tanaman. Kali itu, aku tak mendekatinya dan menawarkannya payung. Aku hanya memandangnya. Sesekali dia menoleh ke arahku dan pada saat itu juga aku spontan menutup diri dengan tirai jendela”
“Lucu juga kalau aku bayangkan saat kakek seperti main petak umpet,”
“Haha, iya. Kau tahu, keesokan harinya dia datang di senja hari lagi saat hujan turun, mungkin saat itu adalah pertemuan terakhirku dengannya,”
“Kenapa kek?”
“Waktu itu, ketika dia berteduh aku menghampirinya lagi. Mungkin aku membuatnya merasa tidak nyaman. Aku bertanya kepadanya, mengapa setiap hujan dia selalu berdiri di tempat itu. Dan dia menjawab “Bukankah aku sudah mengatakan, aku ingin daun dan kuntum bunga flamboyan berjatuhan di tubuhku, tolong jangan ganggu kesenanganku”. Kata-katanya membuatku tersinggung, padahal aku sama sekali hanya ingin berkenalan tapi ternyata dia merasa terganggu dengan kedatanganku”
“Hmmmm” gumamku
“Saat itu juga aku balas berbicara, ku katakan, “ini adalah pohonku, setidaknya aku memiliki hak, termasuk mengetahui apa yang ada di sekitarnya”. “Aku tahu, maaf kalau aku tidak minta izin aku hanya ingin menikmati keindahannya,” katanya dengan wajah cuek seakan-akan hanya ada dia dan pohon itu
“Ooo, tidak apa-apa, silahkan saja. Tapi kenapa kau mengagumi pohon ini?” aku bertanya pada gadis asing itu mencoba memulai percakapan.
“Entahlah, yang jelas pohon ini sangat indah, apalagi saat hujan turun, yang jelas sangat indah, dan hanya pohon ini yang paling besar dan dekat dengan rumahku”.
Aku kemudian mencoba bertanya-tanya tentang dirinya, tapi dia tidak suka, bahkan namanyapun tak ingin di sebutkan. “Kau tidak boleh kesini lagi kalau kau tidak ramah padaku, pohon ini juga akan membencimu kalau kau seperti itu” aku mengatakan hal itu padanya, mungkin terlalu mengancam padahal aku tak bermaksud begitu”
“Lalu kek, apa yang dia katakan?”, tanyaku penasaran lagi.
“Dia tidak berkata apapun, dia langsung pergi beranjak dari tempat itu saat hujan masih deras, aku tercengang dan merasa bersalah” kata kakek dengan ekspresi agak menyesal
“Lalu,bagaimana dengan keesokan harinya, atau saat hari dimana hujan turun lagi?,” tanyaku dengan rasa terlebur dengan cerita kakek.
“Saat itu pertemuan terakhirku pram, aku tidak pernah melihatnya, bahkan berpapasan di stasiun keretapun tidak, tapi aku sangat suka padanya, sampai saat ini,” kata kakek dengan kesungguhannya.
“Begitu ya, kek,”
“Sepertinya sudah hampir malam, aku mau pulang, takut orang rumah mengomeliku karena tidak minum obat tepat waktu,”
“oh, iya kek, sampai jumpa, terima kasih ceritanya”
“iya, sama-sama”
Hari sudah gelap, aku juga beranjak dari tempat itu, setidaknya ada sesuatu yang kubawa pulang dirumah, jadi aku tidak lagi merasa bosan untuk kembali dan menikmati suasana senja seperti itu. Sebenarnya bagiku itu hanya pembicaraan biasa, hanya saja karakter kakek itu yang unik. Aku kembali berjalan melewati blok-blok perumahan yang sudah sunyi, tak Nampak lagi anak-anak yang bermain, anak kecil di dekat pohon flamboyanpun sepertinya sudah pulang dan cuci kaki di rumahnya.
Segelas air dingin melegakan tenggorokanku saat tiba dirumah yang membosankan bagiku, karena hanya ada kakak perempuan yang sibuk sendiri, mama yang telah lama menjanda, dan barang-barang bertumpuk yang siap dijual di pasar loak. Hah, sungguh hari yang baru.
Keesokan harinya, aku berjalan-jalan lagi di senja hari yang berangin. Dengan suasana yang agak berbeda, langit mendung tapi membuatku tetap menikmati saat itu. Kali ini aku bersepeda mengelilingi kompleks tanpa niat sedikitpun singgah di taman kemarin.
“Kakek eman!” panggilku
“eh, pram, sedang bersepeda ya?, wah, asyik sekali” katanya
Aku memarkirkan sepedaku dan duduk di kursi itu lagi. Mengikat rambutku, dan melepaskan earphone dari telingaku.
“Menikmati flamboyan lagi?” tanyaku
“Iya, kali ini bunganya lebih banyak dari kemarin, mungkin dia ingin menyambut hujan”, jawabnya
“Langit memang mendung kek, mungkin sebentar lagi akan hujan,”
“Mungkin tidak akan hujan pram, minggu lalu juga seperti ini, aku berharap agar hujan turun, tapi tak juga turun,” ucapnya tanpa ada rasa kecewa hujan tak turun, sepertinya dia sangat menanti hujan turun.
“Jadi kakek, menanti hujan turun ya?”, tanyaku dengan tersenyum, berharap senyumku manis, tapi entahlah.
Langit bertambah mendung, tapi tak setetespun air hujan turun, hanya senja yang berangin, aku, dan kakek di taman itu. Anak kecil yang kemarin di tempat itu, tidak muncul untuk mengais-ngais tanah menulis-nulis sesuatu.
“Sehari setelah ulang tahunku yang ke tiga belas, aku dan dua orang temanku sedang berkumpul-kumpul sehabis pulang sekolah. Kami bersenda gurau di kebun jauh di belakang sekolah” kata kakek yang spertinya akan menceritakan satu cerita lagi. Wajahnya nampak teduh. Aku hanya memasang wajah seperti anak kecil yang akan diceritakan dongeng oleh neneknya yang duduk di kursi goyang. Kemudian dia menoleh kearahku sebentar dan melanjtkan ceritanya.
“Mereka adalah sahabat-sahabatku sewaktu masih SMP. Saat itu kami duduk diatas terpal kusut dibawah pohon flamboyan yang sangat rindang. Lebih kecil dari pohon di hadapan kita. Kami bercerita tentang kisah-kisah film layar tancap yang kami nonton pada liburan sekolah yang lalu,”
Aku melihat wajah datar dari kakek, dan tampaknya, wajahnya hari ini agak pucat sama pucatnya dengan baju kaos abu-abu yang ia kenakan senja itu. Dengan sleyer melingkar di lehernya, dan posisi tangan yang saling menggenggam.
“Salah satu dari mereka seketika mengajak taruhan. Taruhannya adalah, siapa yang memanjat pohon itu paling rendah maka dia yang harus mentraktrik di kantin sekolah esok hari. Aku dan teman lainpun sangat semangat menerima ajakan itu,”
“Yang dimanjat pohon flamboyan itu kan, kek?”, tanyaku
“Iya, pohon itu selalu menjadi tempat kami berkumpul bertiga, tapi kami belum pernah memnjatinya sekali pun. Kami memanjat secara bersamaan, walaupun kami saling tarik-menarik dan saling mendorong tapi kami cukup lincah dan kuat untuk tetap bertahan. Aku berada paling atas, setelah menjadi yang paling tinggi, akhirnya aku yang menang, dan temanku roni yang memang berbadan agak gemuk harus menerima nasib dengan kekalahannya,”
“Asyik juga kek, tapi sepertinya itu hanya cocok untuk anak lelaki, itupun masih berbahaya karena pohon flamboyan kan sangat besar,” potongku
“Iya, karena itulah, farid mengejek roni karena dia kalah dan badannya yang gemuk, aku juga ikut tertawa. Kemudian kesabarannya hilang, roni memanjat ke arah farid dengan marahnya, sambil memukulnya. Faridpun membalas, keduanya bertengkar di atas pohon itu,”
“Lalu kek, bagaimana itu terjadi, bukankah kalian berteman baik?” tanyaku
“Iya, tapi entahlah. Aku hanya bisa berteriak dari atas agar mereka tidak berkelahi, aku mendekati mereka, dan kemudian farid tergelincir. Batang pohon flamboyant itu sangat licin untuk dimanjati. Spontan kulihat roni memegang tangannya dan berusaha menariknya naik. Aku juga membantu. Tapi, kemudian hujan turun dengan tiba-tiba, sebenarnya sudah turun gerimis sejak kami berada disitu,”
“Tapi, teman kakek tidak jadi jatuh kan?” kataku
“Hujan sangat deras pram, aku samar-samar melihat mereka. Yang jelas farid terjatuh. Kepalanya bocor dan bermandikan darah. Dia jatuh dengan ketinggian kira-kira tujuh-delapan meter,”
“Jadi?”, kataku spontan dengan wajah agak ngeri
“Dia meninggal seketika, walaupun sebelumnya kami masih mendengar rintihannya,” jawab kakek dengan mata yang berkaca-kaca
“Sudahlah kek, itukan sudah berlalu, dan jangan terus di ingat ya?,” kataku berusaha menghibur
“Tidak, aku hanya prihatin dia mati di bawah pohon flamboyan, karena kejadian itu, pohon flamboyan itu di tebang, aku kehilangan dua sahabat sekaligus, roni sangat terpukul, yang seharusnya dia di penjara tapi malah di kirim ke rs jiwa karena mengalami gangguan jiwa akibat peristiwa itu. Dan tiga tahun dia di rumah sakit jiwa, dia meninggal dengan merasa bersalah seumur hidupnya,”
“Aku turut prihatin kek, kan masih ada aku yang bisa jadi sahabat kakek, juga masih ada flamboyan indah ini di depan kita,” kataku mencoba mendinginkan suasana
“Iya, terima kasih. Waktunya kita berpisah lagi pram, aku sepertinya lelah, dan hari juga sudah gelap, sampi jumpa lain waktu,” ucap kakek sambil terbatuk-batuk kecil, melambaikan tangannya dan berjalan pergi. Aku yakin dia merasa sakit, makanya dia cepat-cepat beranjak dari tempat itu.
Aku mengerti keadaanya, aku tersenyum keadanya, dan mangambil sepedaku kemudian mengayuhnya pulang kerumah. Sangat menyenangkan bisa bertemu orang tua itu, tapi perasaanku agak sedih mendengarkan ceritanya. Tapi, tak apalah, hal itu dapat menjadi kisah baru untuk ku bawa pulang lagi kerumah.
Keesokan senjanya, aku memang merencanakan untuk datang ke taman itu. Aku yakin kakek itu pasti ada disana. Mungkin dia masih menunggu hujan turun. Hari itu aku memakai sepeda lagi karena rasanya lebih menyenangkan memakai sepeda untuk berkeliling sebelum aku ke taman yang masih diguguri bunga falmboyan yang merah ceria.
Sampainya aku di taman itu, aku melihat kakek lagi. Kelihatannya dia tampak lebih ceria dan berseri-seri. Di dekat flamboyan anak kecil itu kembali bermain seperti saat pertama kali aku bertemu kakek disini. Sedikit aku tertawa karena kakek berbicara dengan dirinya sendiri.
“Senja itu
Flamboyan berguguran
Seorang dara memandang
Terpukau …
Satu-satu
Daunnya berjatuhan
Berserakan di pangkuan bumi
Bunga flamboyan itu diraihnya
Wajahnya terlihat sayu
Flamboyan berguguran
Berjatuhan, berserakan
Sejak itu sang dara berharapkan
Esok lusa kan bersemi kembali”
Kakek dengan percaya diri kemudian berbalik dan tersenyum padaku.
“Itu tadi karya bimbo,”kata kakek yang nampaknya tidak tersipu malu.
“Iya,kek. Tapi,hari ini terlalu cerah kek, aku yakin hujan tidak turun,”
“Iya, mengecewakan. Tapi tak apalah, hari ini aku merasa segar,”ucapnya sambil berdiri dan meregangkan badannya.
Aku kemudian duduk sama seperti biasanya, disisi lain dari kursi taman itu. Memandang lurus ke depan dan aku mengamati pohon flamboyan yang tingginya kira-kira 12 meter itu.Tentu saja kakek juga menatapnya, dia tidak pernah berhenti menatap pohon itu kecuali jika menoleh dan tersenyum tipis ke arahku.
“Hari ini cerita apa lagi kek”, tanyaku sambil berpikir mungkin saja cerita yang berhubungan dengan flamboyan lagi. Walaupun sebenarnya aku heran apa yang istimewa dari pohon itu, selain rindang, besar tinggi, dan mengotori taman.
“Hmmm, spertinya ini cerita terakhir yang akan kusampaikan. Tidak apa-apa kan jika tentang flamboyan lagi?”, ucapnya sambil berpikir dan berharap aku tidak bosan.
“Tidak apa-apa kek, yang jelas besok-besok kita bisa bertemu lagi kan dan aku siap mendengarkan cerita apapun dari kakek, aku kan masih muda jadi perlu banyak pengetahuan dari yang lebih tua,”ucapku tanpa ragu
“Ya, mudah-mudahan kalau kita masih bertemu”, katanya
“Bunganya sangat lebat ya kek, sampai-sampai daunnya hampir tidak kelihatan dari sini karena tertutup bunganya,”kataku berusaha memuji pohon yang kuanggap biasa-biasa saja.
“Iya, kau tahu….,”kata kakek terputus karena aku memotongnya
“Tidak tahulah kek….hihihi,”potongku spontan bermaksud bercanda.
“Kau ini ada-ada saja, maksudku apa kau tahu kalau bunga flamboyan akan merekah indah saat musim pancaroba, seperti saat ini, kemarau juga tidak, hujan juga tidak,”kata kakek
“Ooo, pantasan bunganya sangat lebat, dan pantasan juga hujan tidak turun ternyata belum waktunya” kataku, “Apa kakek tidak bosan menunggu hujan turun, lalu jika hujan turun bunganya akan rontok semua dong kek!
“Tidak, justru aku ingin melihat bunganya saat hujan turun, tak apalah jika bunganya gugur, malahan aku senang,” jawabnya dengan senyuman tipis lagi.
“Lalu, tadi mau cerita apa kek?” tanyaku tidak sabar
“Iya, aku pasti cerita dan aku tidak lupa untuk menceritakannya padamu. Hmmmm, waktu itu umurku sekitar tujuh tahun. Aku ini anak yang manja sebenarnya, sangat dekat dengan ibuku. Kemanapun ibuku pergi aku selalu ingin ikut dengannya” kata kakek memulai
“Wajar saja kek, kakek kan waktu itu masih kecil. Aku juga sangat manja dengan mamaku walaupun saat ini kami sering bertengkar mulut, maklum dia itu single parent,”
“Itu karena kamu sudah dewasa. Tapi, ibuku dulu gadis desa, itu kata ayahku”,
Kemudian kakek menepuk-nepuk bahuku sambil berkata demikian. Sepertinya dia ingin aku menjadi anak yang baik. Aku seperti cucunya saja. Setelah itu, dia melanjutkan ceritanya.
“Suatu hari saat awan selesai menangis, maksudku saat hujan deras sudah usai, ibuku mengajak ke sungai untuk bermain. Tentu saja aku ikut dengan senang. Sungai itu sangat panjang, ibu mencuci pakaian di kaki sungai yang airnya agak tenang. Sedangkan aku bermain di dekat air terjun yang cukup tinggi. Hari yang menyenangkan, aku tidak bermain seenaknya, karena ibu sudah mengingatkanku agar berhati-hati, dan aku anak patuh”
Ucap kakek meyakinkanku kalau dia anak yang baik dulu. Lucu juga kakek ini, agak narsis. Tapi aku tetap menjadi pendengar yang baik, aku juga tertarik dengan cerita-ceritanya, walaupun mungkin orang lain menganggap biasa-biasa saja.
“Di puncak air terjun,dibagian tepi sungai yang ada di atas kami, berdiri kokoh pohon flamboyan. Tapi, tidak terlalu tinggi, mungkin tiga perempat dari pohon di depan kita ini. Saat itu, bunganya sudah tidak Nampak dari kejahuan, karena hujan mungkin telah mendorongnya jatuh dari dahannya. Tapi, bukan itu yang aku perhatikan. Yang kuperhatikan adalah sarang burung yang ada di pohon itu. Sarangnya terdapat di tengah pohon diantara persilangan batangnya yang lurus menjadi dahan”
“Pasti kakek mengambilnya” ucapku
“Memang dasarnya anak kampung, aku berjalan menuju tempat itu, melewati bukit kecil berbatu. Belum sampai di tempat itu, ibuku berteriak dari bawah dan kemudian aku terdiam sejenak sambil melihat ibuku datang ke arahku. Aku seperti melihat bidadari. Dia tidak memarahiku sedikitpun. Dia hanya bertanya apa yang akan kulakukan. Aku katakan kalau aku sangat menginginkan sarang burung di pohon itu. Di mangatakan “Berbahaya memanjat pohon ini, kau liatkan batangnya masih basah kalau kau jatuh bagaimana, kau lihat air terjun sangat tinggi dan airnya sangat deras”. Tapi, aku tetap ngotot dan merengek. Baru kali itu aku sangat merengek. Ibuku yang baik kemudian mengatakan “Tapi, kali ini saja, dan ibu yang akan mengambilkannya untukmu eman, dan setelah kau lihat sarangnya ibu akan mengembalikannya,” kemudian ibuku memanjat, aku sangat senang dia kembali dengan sarang itu ditangannya, aku melihat dua telur di sarang itu.”
“Pasti kakek, berniat mengambilnya kan ?”
“Iya, tapi langsung saja ibuku melarangku dan kemudian memanjat pohon lagi untuk mengembalikan sarang itu ke tempatnya. Walaupun hanya melihat dan tidak memilikinya, tapi aku senang. Ibuku mengajariku dengan baik dan itu baru tersadar saat aku mulai dewasa. Kalau makluk hidup harus saling menjaga”
“Wah, ibunya kakek hebat, kalau mamaku sangat cerewet. Suka melarang sesuatu yang senang kukerjakan tanpa alasan mengapa dia melarangku,” ucapku mencurahkan isi hati, tidak bermaksud menjelekkan mamaku sendiri.”Lalu, kakek kembali bermain sendiri?”
“Tidak, Tiba-tiba saja ibuku tergelincir setelah menaruh sarang itu. Aku hanya diam menyaksikan ibuku jatuh di puncak air terjun, dan dibawa derasnya air yang menyeretnya. Aku tidak mendengar teriakan darinya, hanya orang-orang yang ada di situ datang dan menggendongku”
“Astaga, aku…” kataku sangat terlebur dalam cerita itu
“Iya, sekarang aku tidak terlalu mengingatnya lagi. Aku sudah tidak sedih, karena ibuku selalu ada di dekatku. Mungkin itu saat terakhir aku melihat ibu diatas pohon flamboyan, dia sangat cantik berdekatan dengan bunganya walaupun saat itu bunganya sudah berguguran, tapi dia menjadi bunga terindah saat itu” kata kakek mengakhiri ceritanya
“Terus apa yang terjadi setelah itu kek?” tanyaku mencoba untuk tidak membuatnya sedih, tapi sudah terlanjur, aku penasaran.
“Entahlah, itu benar-benar saat terakhir aku melihat ibuku, bahkan pemakamannya aku tidak sanggup datang,”jawabnya
“Jadi….” Kalimatku terpotong karena suara klakson mobil mengagetkanku. Sebuah mobil hitam yang didalamnya berteriak seorang ibu-ibu yang memanggil namaku, dan seorang anak perempuan. Hah….ternyata mereka adalah keluargaku, kakak yang membosankan dan mama dengan suara nyaring memanggilku.
“Pram, apa yang kau lakukan disini, HPmu kau tinggalkan, dari tadi ibu menelponmu, ayo cepat naik,” teriaknya
“Mama, aku hanya berjalan-jalan, mau kemana?, bagaimana dengan sepedaku?,”
Kemudian pak trisno turun dari mobil, aku tidak menyangka dia ada. “Nanti aku yang bawa pulang, non” katanya dengan tergesa-gesa. Aku sedkit kesal dengan keadaan mendadak seperti itu. Tak ada kejelasan.
“Sebenarnya ada apa mama?” tanyaku lagi
“Kau ini, cepat naik. Tante ira mau di operasi dan administrasinya kalau bukan mama yang urus siapa lagi Oon!”, kata kakakku mengesalkan
“Iya, iya. Kakek aku minta maaf. Kali ini aku harus pergi duluan. Sekali lagi maaf” kataku kepada kakek
“Tidak, apa-apa. Lagipula itu tadi kisah terakhir yang bisa aku ceritakan padamu. Harusnya aku yang minta maaf,”jawabnya dengan senyuman dan dia juga tersenyum kepada mamaku yang sedang berada di depan stir, tapi dasar panik, mama tidak membalas senyumnya sedikitpun.
“Lain kali kakek masih bisa bercerita denganku lagi kok, aku siap mendengarkan kisah bersama flamboyan!” kataku
“Tapi kita tidak akan ketemu lagi, kau bisa membuat kisahmu sendiri, karena pohon flamboyan tidak akan pergi kecuali kau yang menjauh darinya,” kata kakek yang tadinya berdiri kemudian duduk kembali menatap ke arah pohon flamboyan lagi.
“Pramesti, apa yang kau lakukan berdiri terus di situ, cepat masuk ke mobil” teriak mama kali ini dengan nada suara yang agak tinggi
“Iya, ma. Sabar sedikit dong!” kataku sambil masuk ke mobil. Kemudian kami berangkat menuju rumah sakit. Ketika roda mobil mulai berputar, aku menoleh ke belakang melihat kakek yang masih saja menatap kearah pohon itu. Lama-kelamaan mobil menjauh dari taman itu, sampai akhirnya aku sudah tak bisa melihatnya. Di kepalaku masih tersimpan pertanyaan apa yang istimewa dari pohon itu.
Keesokan harinya, saat siang tertutupi awan. Aku pergi ke taman itu lagi berharap bertemu kakek dan bermaksud meyampaikan permintaan maaf karena aku pergi tergesa-gesa dan karena ibuku tidak membalas senyuman kakek.
Tapi, sesampai disana aku tidak melihat kakek. Agak heran kenapa kali ini kakek tidak ada padahal hujan sepertinya akan turun sore ini. Mungkin dia sakit dan tidak mampu untuk kesini. Tidak apalah, aku juga biasanya sendiri walaupun agak janggal karena akhir-akhir ini kan aku ngobrol dengan orang itu.
Tiba-tiba anak kecil yang biasa bermain di taman itu memanggilku dari kejauhan. Aku mendekat ke tempat dimana dia mengais-ngais tanah lebih tepatnya dia mneulis sesuatu di tanah itu. Ternyata memang nyaman berada di bawah pohon flamboyan yang rindang itu, tapi tetap saja aku menganggapnya biasa-biasa saja.
“Hai, adik kecil. Mengapa memanggilku?” tanyaku kepadanya dengan sedikit senyum.
“Tidak ada apa-apa kak, aku hanya ingin bermain bersama kakak,”katanya
“Kenapa tidak bermain dengan teman sebayamu” tanyaku lagi
“Ah, mereka kaum elit, mana ada yang mau berteman denganku. Lagipula kata kakek yang pernah duduk di situ bilang akan ada yang menemaniku, katanya lagi, orang itu orang pertama yang akan duduk di kursi disana setelah dia, dan itu kakak,” katanya masih tetap menuliskan sesuatu di atas tanah, sepertinya dia menggambarkan rumah dan orang seperti sebuah keluarga, kemudian menuliskan nama-nama orang itu.
“Yang itu kakakmu ya?, dan berambut panjang pasti ibumu!,”ucapku sambil duduk bersamanya
“Iya”,katanya singkat sambil meneruskan gambarnya.
“Kau tahu kakek itu dimana, atau dia tadi ada disini?,”tanyaku
“Dia tidak datang, dan tidak akan pernah datang”,jawabnya lugu dan sepertinya membuatku penasaran, kakek itu kenapa tidak datang, aku hanya heran saja, aku kan tidak punya janji dengannya.
“Kau tahu rumahnya?” tanyaku lagi
“Iya, hanya dua blok dari sini, di ujung sana. Kakak akan lihat rumah putih krem yang mewah” jawabnya
“O, iya. Kalau begitu aku pergi dulu, nanti kita main lagi ya?” kataku sambil beranjak dari tempat itu. Entah mengapa aku berniat ke rumah kakek itu. Aku hanya ingin tahu ada apa dengan dia. Aku berjalan kearah dimana anak itu menunjuk. Dan memang benar, aku melihat rumah itu. Langsung saja aku memencet bel.
Setelah berkali-kali memencet bel, seorang ibu-ibu seumuran mamaku keluar dari pintu besar dengan motif art deco yang indah. Rumahnya memang sangat unik dan mewah.
“Cari siapa ya?” katanya sambil mendekatiku di pagar
“Maaf tante, apa ini benar tempat tinggalnya kakek eman?” tanyaku
“Iya, aduh, paman bikin masalah apa lagi ya?” katanya yang membuatku heran
“Tidak kok tante, kakek baik. Aku heran biasanya dia ada di taman, belakangan ini kami sering bercakap, hanya ngobrol tante. Aku hanya khawatir sapa tau kakek lagi sakit,”
“Kau ini siapa, apa kau juga tidak waras?” katanya dengan raut wajah yang berubah drastis
“Aku pramesti tante, aku tinggal di perumahan ini juga, hanya agak jauh dari sini. Dan, maaf, aku waras tante”
“Oo, kakek itu jiwanya terganggu, aku pikir dia buat masalah denganmu” ucapnya membuatku kaget
“APA!!, tapi kemarin, dan beberapa hari lalu dia normal-normal saja tante, bahkan cerita banyak hal”
“Kau ini bego atau pura-pura waras, kakek itu sudah meninggal sebulan lalu, hahah..dasar!”
Aku tercengang, tak percaya. Tapi, orang itu meyakinkanku ketika aku menyanggahnya, orang itu mengataiku mengada-ngada, tidak waraslah. Lama kelamaan, aku berpikir. Mungkinkah itu hantunya kakek eman, atau aku hanya berhalusinasi saja. Tapi semuanya terasa nyata. Anak kecil tadi juga pernah bertemu dengannya. Atau itu yang menyebabkan mama tidak membalas senyumannya. seketika aku mengambil HP dari kantong bajuku dan menelpon mama.
“Ada apa pram, sudah puas berjalan-jalan?” kata mama di telepon
“Mama, kemarin mama melihat kakek di taman itu ya?, tempat mama menjemputku sebelum ke rumah sakit” tanyaku secara langsung
“Kau ini pertanyaan yang tidak penting banget sich!, kemarin kamu itu sendiri, makanya mama ngomel kamu berdiri dan berbicara sendiri. Memangnya kenapa, pram?”
“Tidak apa ma, makasih” aku menutup telepon dan kemudian terpaku, terdiam, dan bingung dengan semua ini. Aku kaget, benar-benar shock!. Ini benar-benar terjadi. Mungkinkah aku berbicara dengan hantu, tapi aku yakin semuanya tampak nyata. Ini pasti nyata, tapi kenapa tante ini bilang kakek meninggal sebulan lalu. Aku benar-benar…
“Hei, masih ada yang ingin kau katakan, aku sibuk. Sebentar lagi hujan turun” kata tante itu
“Aku bisa meminta alamat tempat makam kakek eman?” mintaku padanya, dia hanya mengangguk kemudian masuk kedalam rumah.
Sekitar dua menit dia keluar dengan kertas kecil di tangannya. Kertas itu diberikannya kepadaku dan mengatakan “Kakek itu tidak waras sejak kecil, sejak ibunya meninggal karena dia, makanya dia selalu mengada-ngada, kalau kau pernah bertemu dengannya dan dia menceritakan sesuatu, berarti dia itu sedang berhalusinasi, dia itu frustasi, keluarganya tidak ada yang peduli dengan apa yang dia kerjakan. Aku ini hanya istri dari keponakannya, aku tak tahu banyak”. Kemudian dia masuk lagi tanpa menoleh ke arahku. Secarik kertas dengan alamat tertuliskan di atasnya. Aku benar-benar tak percaya ini semua.
Aku berjalan kembali ke taman itu dan menuju pohon flamboyan. Aku tidak melihat anak kecil itu lagi. Mungkin dia telah kembali ke rumahnya. Hujan akhirnnya turun dengan deras. Membasahi tubuhku yang berdiri menatap pohon itu. Aku mengamati pohon itu, dan mendapatkan suatu makna. Bunga-bunga flamboyan tumbuh dan mekar pada setiap dahan, rapat dan berkumpul di dahannya masing-masing, dan terhubungkan oleh satu batang yang besar tembus ke bawah tanah dimana akar menahannya agar tetap berdiri dan berada di sini. Seperti manusia, memiliki kelompok,keluarga sendiri, hidup di tempat-tempat yang berbeda dengan kesejahteraan yang berbeda. Dan dihubungkan satu sama lainnya, seperti batang pohon flamboyan yang menghubungkan dahan tempat bunga-bunganya tumbuh dan mekar.
Kemudian, aku mengambil kumpulan bunga pada dahan yang terjatuh di depanku. Aku menatap bunganya, dan melepasnya dari bagian dahan yang besar. Ternyata sangat istimewa. Bunganya seperti anggrek, tapi lebih indah dari anggrek jika dia tetap berkumpul dengan bunga lainnya. Aku membawa kumpulan bunga flamboyan itu, dan segera pergi ke pemakaman yang dialamatkan di kertas basah yang kupegang itu. Walaupun basah, masih bisa dibaca. Aku pergi dengan angkot yang melintas di depan gerbang perumahan.
Aku mencari kuburan kakek eman. Mencari namanya sesuai dengan yang kubaca di kertas tadi, kertas yang sudah tidak bisa aku baca karena sudah hancur terkena air hujan atau mungkin juga air mataku. Aku sampai di makam yang nisannya tertuliskan nama Ahmad Sulaiman Bin Rahim. Aku terduduk di sampingnya. Derasnya hujan menutupi air mataku yang juga mengalir deras. Aku tidak takut sedikitpun. Aku tidak peduli apakah orang yang ku temui adalah hantu atau ruh atau apapun itu. Yang jelas aku senang bertemu dengannya.
Aku meletakkan bunga flamboyan itu. “Kakek, hujan telah turun aku berharap kau bisa menikmati bunga flamboyan, aku bawakan padamu dari pohon itu”.
Aku sekarang menganggap pohon itu sangat istemewa bagiku, entah mengapa. Mungkin karena aku salut dengan kakek. Walaupun kata tante itu, kakek tidak waras, aku masih tak percaya dengan apa yang aku alami, aku tak tahu apakah aku benar-benar bertemu dengan kakek itu, dan aku tak tahu kisah yang aku dengarkan dari kakek benar atau tidak, tapi aku punya kisah sendiri dengan pohon flamboyan. Kisah tentang aku, kakek, hujan, dan Flamboyan yang indah.


sebuah cerpen karya arini junaeny